Mimpi Bukan Satu-Satunya Kunci



Di bawah senja yang indah duduklah seorang perenang yang jangkung pada rerumputan hijau di taman kota. Berfikirlah dia tentang masa depannya yang ingin menjadi perenang internasional. “ aduh!” sebuah bola sepak mendarat tepat di jidatnya. Seorang perenang yang dijuluki si jangkung Anji bernama lengkap Anjiyono Santoso. Bola itu langsung mental dan menggelinding ke arah pemiliknya yaitu anak SD berumur 12 tahun. “ Heh dek ga tau ya, aku ini Anji perenang hebat, yang tidak pernah mengumpat. Huh menguji kesabaranku saja!” bentak Anji. “ Maaf kak. Maaf! Tapi saya belum pernah melihat kakak di koran atau apalah. Week!.” “ Hemph liat saja nanti Anjiyono Santoso seorang perenang internasional mewakili negara asalnya INDONESIA TERCINTA.” Gumam Anji dalam hati dan membayangkan masa depannya.

“Anji! Anji! Bangun nak!” teriak ibu tepat di telinga Anji. “ Astafirulloh Ibu! Anji sedang memimpikan gadis-gadis cantik di kolam renang. Nanti sajalah bu!” jawab Anji. “ Mau jadi apa kau ini?Cepat bangun! Dengarkan kata-kata Ibu ya! Berusahalah jangan hanya menjadi pemimpi. Demi Ibu!” nasehat Ibu. “Sudahlah bu. Biarkan Anji bermimpi dulu” bela Anji. Pagi itu Anji tidak bisa bangun karena kepalanya berat sekali setelah tertimpa bola kemarin sore.

Anji dan ibunya selalu saja bersebrangan pendapat. Ibu yang selalu ingin anaknya berusaha keras untuk meraih cita-citanya, yang selalu menginginkan anaknya untuk berbakti kepadaNya, dan ibu yang selalu ingin anaknya bisa menghargai orang-orang di sekitar mereka. Sedangkan Anji? Anak yatim ini selalu saja seenaknya. Walau dia seorang perenang tetap saja kemampuannya harus diasah lagi. Hanya selalu saja bermimpi tanpa pernah peduli, tangisan ibu dalam doanya yang tidak sanggup melihat anaknya tak mau berfikir, hingga tak menjadi seorang perenang yang mahir. Anji selalu beranggapan mimpi adalah kunci untuk meraih apa yang diingini.

Piring putih cantik berisi ikan bakar yang dimasak oleh wanita yang penuh kasih sayang seolah tak mau disentuh oleh anak yang tidak pernah berdoa pada Tuhan mensyukuri apa yang telah diberiNya. “Bu! Ibu! Kenapa hanya ada ikan bakar saja Bu? Aku inikan seorang perenang, sudah sepantasnya mendapatkan gizi yang cukup Bu!” Bentak Anji pada Ibu. “ Syukuri saja apa yang ada!” kata Ibu. Tetapi seolah Anji tetap tidak mempedulikan kata-kata Ibunya. “Memangnya kemana gaji Ibu selama ini? Bukankah tidak sedikit. Hanya untuk membelikan makanan anakmu ini apakah tidak cukup Bu? Jangan hanya digunakan untuk kepentingan ibu sendiri! Berikan penghidupan yang layak untuk anakmu ini!” teriak Anji sambil membanting piring yang sudah berisi nasi. “Masyaallah nak! Apa kau pikir gaji Ibu selama ini hanya untuk Ibu saja? Kata-katamu itu menyakiti hati Ibu. Selama ini uang itu ibu masukkan ke Bank untuk memberimu masa depan yang..” bela ibu. “maksud ibu…” sela Anji. Iya memang benar kemarin, hari ini, dan besok mungkin ibu tidak bisa memberimu penghidupan yang layak. Untuk itu ibu berusaha memberikanmu masa depan yang layak dengan menabungkan uang itu agar kelak kau bisa pergunakan untuk kursus renang menggapai mimpi-mimpimu menjadi perenang.. perenang yang hebat” lanjut ibu. Anji tak sanggup melihat air mata ibunya yang menetes membasahi daster batik bewarna coklat itu. Anji mengambil kunci motor lalu pergi begitu saja meninggalkan ibunya.

Sudah 18 hari Anji tidak pulang menemui ibunya, karena rasa bersalah yang melanda. Ternyata Anji mengikuti perlombaan renang tingkat kota. Nyaringnya suara peluit memberi tanda perlombaan telah dimulai. Gemercik air menandakan usaha keras para perenang mencapai keinginan mereka. Hanya Anji yang tak tampak uluran tangan terjauhnya sebagai perenang. Ternyata tubuhnya mengalami kram karena tidak melakukan pemanasan dan sudah lama tidak berlatih. Usahanya mulai melemah dan dia naik dari kolam renang. Anji merasa Tuhan tidak adil padanya. Dia merasa sudah berusaha untuk menjadi pemenang dan membuka peluang untuk menjadi perenang handal.

Ia marah sekali pada Tuhan. Dia berontak dan menghantam apa yang ada di hadapannya. Dia menangis persis saat ibunya menangis tersedu. Pikirannya kacau ,sampai tidak mendengar burung berkicau. Anji terus saja memukuli tembok rumah orang lain. Sampai saat itu pemilik rumah keluar dan marah. Ternyata seorang petinju yang tidak rela melihat rumahnya dihantam orang tidak berguna. Ia memukuli Anji, terus memukulnya tanpa peduli, hingga Anji tak sadarkan diri.

“Kondisinya tidak memungkinkan, Bu. Tulang iganya retak dalam. Memang masih bisa sembuh. Tetapi..” belum selesai dokter berkata-kata ibu sudah menyela. “ tapi Dok, dia seorang perenang. Bagaimana mungkin seorang perenang kehilangan hal utama sebagai seorang perenang?” “ Begini bu kami sudah berusaha tetapi Tuhan yang menentukan. Dia akan kehilangan kemampuannya. Mungkin sesekali dia bisa berenang tetapi kekuatannya tidak selincah dan bertenaga seperti dulu,” kata dokter saat menenangkan ibu. Ibu hanya menangis tersedu di pojokn rumah sakit dekat jendela. Ibu tak kuasa melihat anaknya seperti itu. Seolah alampun seolah berseru atas kesedihan ibu. Awan mendung berkumpul menjadi satu. Hujanpun turun sampai tak terdengar lagi tangisan ibu.

Sore itu bisa dikatakan sebagai sore kelabu. Anji menghampiri loteng rumah sakit yang becek karena hujan dan menikmati sinar matahari sore yang akan berganti dengan bulan. Anji hanya terpaku dan sesekali tak kuasa menahan air mata menyesali keadaannya. Jemari halus dan lembut menyentuh bahunya. “ Tak perlu menyesali yang telah terjadi. Lihatlah ke depan apa yang akan diberikan Allah pada kita ,nak. Ibu menerimamu apa adanya,” suara ibu terbata karena menahan air mata. Mendengar perkataan ibunya seketika air mata Anji tumpah dan dia menangis tersedu tak bisa berkata apapun. Anji langsung berujud di kaki ibunya tanda dia menyesali smua perbuatannya. Air mata ibu kini sudah tidak bisa ditahan lagi saat melihat anaknya seperti itu. “ Mimpi memang kunci, tetapi bukan satu-satunya untuk meraih apa yang diingini. Doa, usaha, dan restu orang tua juga merupakan kunci meraih mimpi. Kita harus terus berusaha dengan melihat kenyataan yang tidak pernah sederhana. Kita harus bangkit dan berusaha. Aku hanyalah seorang ibu yang tak pandai merangkai kata, tapi hanyalah nasehat sederhana….”

Cerita ini berawal di bawah senja dan berakhir saat si anak bersujut pada kaki ibunya…
juga di bawah senja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENJAGA HATI SAHABATKU....